peluang usaha

Kamis, 25 Maret 2010

Selamat Datang di Desa Gigolo!

Liputan6.com, Boyolali: Dengan langkah pasti, seorang anak muda memasuki kamar hotel. Usianya kurang dari 20 tahun, namun profesinya cukup mencengangkan, pelaku seks komersial pria alias gigolo. Kesulitan ekonomi selalu menjadi alasan suburnya ladang kerja para gigolo muda tersebut.

Lantaran penasaran, penelusuran menuju daerah asal para gigolo muda pun dimulai. Dua desa kecil di kawasan Boyolali, Jawa Tengah, menjadi tujuannya. Di Desa Cabean, penduduknya beraktivitas layaknya penduduk desa kebanyakan. Warga bergotong-royong membuat keranjang ayam.

Siapa sangka. Begitu senja turun, para pembuat keranjang ayam menjelma menjadi "kucing" alias gigolo. Rata-rata pemuda "desa kucing" merupakan pelajar putus sekolah. Melalui mucikari atau bekerja seorang diri, mereka menjajakan diri di pinggiran jalan. Targetnya, tante girang dan om senang. Terdapat juga salon yang beralih fungsi sebagai tempat mempermak para gigolo.

Warga dan perangkat desa sepertinya tidak mengetahui aktivitas rahasia sejumlah pemuda desa. Terlepas dari itu semua, para pemuda desa pastinya merasa sayang meninggalkan profesinya. Menurut salah seorang pemuda berusia 18 tahun, ia dibayar ratusan ribu rupiah untuk melayani om atau tante yang butuh pijat ekstra. Maksudnya tentu saja pelayanan seks.

Desa lainnya yang menampung para gigolo muda adalah Desa Bakalan. Letaknya di antara Boyolali dan Salatiga. Dengan kamera tersembunyi, tim Sigi memasuki rumah seorang warga yang diduga sebagai kediaman makelar gigolo muda. Rumah itu dikenal sebagai agency model salon. Tak butuh lama bagi seorang makelar menyiapkan "kucing" belianya. Jika harga disepakati, transaksi ditutup dengan hubungan seks di hotel atau lokasi pilihan pelanggan.

"Terus gimana" tanya seorang pelanggan. "Ya maksudnya mesti ngajarin kalo dipegang-pegang...biasa. Tapi kalo main kan belum terlalu tahu," sahut si makelar. Inilah sepenggal percakapan yang direkam tim Sigi dalam traksaksi gigolo di sebuah warung.

Selanjutnya, anak muda desa dibawa ke Semarang. Terdapat sebuah tempat yang kerap disebut-sebut sebagai persinggahan para gigolo, yaitu daerah Pos Ponjolo. Melalui makelar juga para gigolo dikenalkan dengan nuansa kota seperti mal dan pusat perbelanjaan lainnya.

Terbukti, banyaknya remaja lelaki desa yang ingin mencoba dunia esek-esek tidak lepas dari peran makelar yang mendatangi desa mereka. Namun ada juga gigolo yang berani mempromosikan diri sendiri dengan mengirim kode tertentu pada calon pelanggan. Para gigolo ini biasa nongkrong di taman atau kafe. Bahkan, tak sedikit gigolo remaja yang memanfaatkan kemajuan teknologi untuk mencari pelanggan.

Kisah sepak terjang seorang pemuda menjadi gigolo pernah diangkat ke layar lebar oleh sutradara Dimas Djayadiningrat. Dalam film berjudul Quickie Express yang dirilis pada 2007, Tora Sudiro memerankan pemuda gigolo yang ingin hidup enak. Gigolo, sulit diberantas bukan berarti harus dibiarkan begitu saja. Harus ada tindakan yang berarti untuk mengurangi jumlah para gigolo. Keberadaan mereka bisa menciptakan kondisi sosial yang kurang sehat di masyarakat.(OMI/ANS)


Read more...

Selasa, 23 Maret 2010

Mari Bersyukur

Mari Bersyukur
Oleh: Sonny Wibisono *

“Keinginan-keinginan yang ada pada manusialah yang seringkali menjauhkan manusia dari kebahagiaan.”
-- Buddha

Warung nasi uduk itu sebenarnya enak punya. Rasa nasinya gurih. Ayam gorengnya kriuk-kriuk. Bebeknya tidak lengket dan empuk. Tapi kok malam itu sepi sekali. Pengunjungnya hanya satu dua saja. Mereka datang dan pergi. Mungkin karena malam itu hujan.

Ups, salah. Di tengah gerimis mengundang, si pemilik warung itu bilang, keadaan itu sudah berlangsung sejak lama. Sebabnya, tak jauh dari tempat dia membuka tendanya, sudah ada sekitar enam warung sejenis. Wajarlah bila pengunjung jadi sepi. Dengan penuh gelak tawa dia berkisah tentang kemunduran usahanya.

Aneh betul si bapak. Rugi kok masih haha-hihi. Baginya, meski pendapatan terus menurun, dia tetap senang. Masih banyak pelanggan setia yang selalu mampir ke warungnya. Meski berkurang, pendapatannya tetap ada. Dari sedikit untung yang dia tabung, ia dapat menyekolahkan ketiga anaknya hingga masuk universitas negeri. Wajahnya begitu berseri-seri menceritakan itu.

Sebaliknya, wajah keruh terlihat pada wajah seorang kolega. Pangkal sebabnya ternyata soal pendapatannya yang menurun. Setelah kontrak kerjanya selesai, dia mendapatkan pekerjaan di kantor yang baru. Sayangnya, gaji yang didapatkannya sedikit berkurang. Mau ditolak, dia butuh pemasukan.

Lain ladang lain ilalang. Nasi uduk dan kantor profesional adalah dua dunia yang berbeda tentu saja. Pendapatannya juga jauh berbeda. Bila mau dihitung, tentu pendapatan si teman bisa jadi lebih besar ketimbang si penjual nasi uduk.

Faktor lainnya, penghasilan si pekerja sudah pasti tetap. Sebaliknya, si penjual nasi uduk, kadang tak tentu besar yang didapatkannya. Bukan itu saja, si penjual nasi uduk bisa saja kehilangan segalanya. Misalnya karena lahan jualannya kena proyek pelebaran jalan atau mungkin akan dijadikan bangunan perkantoran.

Wajah menjadi jendela hati. Wajah si bapak penjual nasi uduk bisa berseri-seri karena dia menerima apa adanya dengan rezeki yang jatuh padanya. Lebih tepatnya, karena dia mensyukuri semua yang didapatkannya. Sebaliknya, sang teman, meski penghasilannya lebih pasti dan lebih besar, terbebani sebuah kenyataan yang tidak sesuai harapannya.

Alhasil, semua yang dia dapatkan seolah tak ada artinya. Bahkan dia pun bersungut-sungut. Padahal, andai saja dia mau melihat ke sekelilingnya, terlalu banyak kelebihan yang didapatkannya. Dia masih melihat anak-anaknya pergi sekolah di saat banyak anak yang berdiam di rumah karena orang tuanya tak sanggup lagi menyekolahkannya. Dia masih berada di dalam mobil yang sejuk di saat orang lain berdesakan di dalam bus yang pengap.

Bersyukur berarti menerima sepenuhnya apa yang telah menjadi rezeki kita tanpa harus menggugat apalagi mengeluhkan kekurangan. Bersyukur dapat pula berarti menerima semua hal yang didapat, baik keberhasilan ataupun kegagalan. Baik anugerah ataupun musibah. Karena tak semua keinginan dapat terwujud. Bersyukur bukan pula berarti menerima lalu pasrah. Melainkan berusaha untuk mewujudkan semua keinginan tersebut. Bila gagal, cobalah terus berusaha, semua terjadi karena waktu yang belum tepat.

Di tenda itu, si bapak pemilik warung nasi uduk telah melakoni sebuah peran yang teramat sulit dilakukan banyak orang: mensyukuri semua nikmat yang ada. Dampaknya tak hanya membuat hidupnya menjadi lebih bahagia, tetapi juga lebih cerah. Si bapak itu tampak lebih muda dan segar. Sedangkan si teman yang selalu menggerutu, wajahnya terlihat letih dan tua sebelum waktunya. Percayalah, bersyukur membuat hidup menjadi lebih rileks.

*) Sonny Wibisono, penulis buku 'Message of Monday', PT Elex Media
Komputindo, 2009

Read more...

Minggu, 21 Maret 2010

Sudah Layakkah Kita Untuk Mengenakan Dasi ?

Apakah selama beraktivitas di kantor anda mengenakan dasi? Atau, mungkin kolega anda ada yang berdasi. Secara tidak langsung kita sering mengkorelasikan dasi dengan posisi dan gaji tinggi. Jadi, jika dikantor ada orang yang berdasi dan yang tidak berdasi, serta merta kita berpikir bahwa orang yang mengenakan dasi memiliki hirarki yang lebih tinggi. Itulah sebabnya, dulu kita ingin sekali mendapatkan pekerjaan yang dekat dengan dasi. Tetapi, apakah sekarang kita sudah layak untuk mengenakan dasi?

Di tahun 1970-an dasi belum menjadi asesoris yang umum dikenakan oleh orang Indonesia. Hanya mereka yang tinggal di perkotaan saja yang memakainya. Itupun jika mereka termasuk kedalam kalangan kelas atas. Atau orang-orang yang berpendidikan tinggi. Tapi, dikampung saya yang terpencil ada sebuah keanehan. Disana ada sebuah lemari pakaian yang menyimpan beraneka dasi, dalam warna yang beragam. Lemari itu ada di sebuah rumah. Dan rumah itu adalah milik Kakek saya. Ketika saya masih SD, Nenek mengenalkan saya kepada dasi. Dan cara saya sekarang mengikat simpul dasi, adalah hasil dari apa yang diajarkan oleh Nenek.

Bagi saya, dasi bukan hanya menarik sebagai pelengkap pakaian. Karena selain memperindah penampilan, dia juga memiliki sensasi yang mengesankan. Beda dengan kalung, dasi itu melingkar dekat sekali dengan leher. Namun, dia sama sekali tidak membuat kita tercekik. Tidak pula kelonggaran. Dengan kata lain, ukuran lingkar dasi menyesuaikan dengan ukuran leher pemakainya. Bukankah ini yang biasa kita sebut sebagai ’different stroke for different folk’? Kita memperlakukan orang lain sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing. Prinsip ini tidak hanya digunakan dalam bidang HR dan kepemimpinan. Tetapi juga dalam konsep pelayanan kepada pelanggan. Intinya, jika kita mampu melayani atau memperlakukan orang lain sesuai dengan kebutuhannya masing-masing, maka kita bisa memperoleh tempat teristimewa dihatinya.

Dikantor-kantor bergengsi, dasi sudah menjadi identitas yang nyaris tak terpisahkan atas hirarki seseorang di perusahaan. Meskipun tidak selalu benar, namun dasi identik dengan kesuksesan karir seseorang. Jika kita berangkat ke kantor menggunakan dasi, penampilan kita terkesan lebih bonafid. Demikian pula halnya ketika berhadapan dengan pelanggan. Memang ada orang yang memakai dasi, tapi sebenarnya tidak memegang jabatan yang tinggi. Contoh orang yang seperti itu adalah saya beberapa belas tahun yang lalu. Saya mengenakan dasi meskipun status pekerjaan saya adalah tenaga penjualan, alias salesman. Dasi yang saya kenakan sama sekali bukan simbol jabatan saya yang keren. Melainkan karena perusahaan mendorong kami untuk menampilkan diri sebaik-baiknya dihadapan para pelanggan.

Faktanya, memang ada hubungan erat antara keunggulan penampilan seseorang dengan citra dirinya. Sedangkan citra diri yang positif melahirkan penghargaan kepada diri sendiri yang lebih tinggi. Misalnya, anda lebih percaya diri untuk memasuki gedung tinggi tempat para elit bisnis berkantor ketika mengenakan pakaian yang rapi dibandingkan dengan saat mengenakan seragam kumal. Citra diri yang tinggi juga meningkatkan penerimaan orang lain terhadap diri kita. Tidak mengherankan jika mereka yang berpenampilan menarik lebih diterima, dibandingkan yang lusuh tak terawat. Ini berlaku secara universal. Dan dasi, sedikit banyak memberikan andil untuk membentuk citra diri itu.

Ketika Presiden Direktur kami dulu menganjurkan para salesman mengggunakan dasi, sebenarnya beliau menginginkan agar kami mampu meningkatkan citra diri. Sehingga penghargaan kepada diri sendiri semakin tinggi. Karena, pekerjaan ‘salesman’ juga sama mulia dan terhormatnya dengan pekerjaan lain. Jika kita menjalaninya secara professional seperti penampilan kita itu, maka tentu kita akan mendapatkan hasil yang sepadan.

Sekarang, mari kita perhatikan apa yang dibutuhkan oleh seorang pekerja seperti kita untuk merajut kesuksesan dalam karir. Jika kita ingin berhasil dalam karir, sekurang-kurangnya kita mesti memiliki empat aspek penting berikut ini. Yaitu;


Dedication, atau dedikasi. Tidak ada pekerjaan yang bisa diselesaikan dengan baik tanpa dedikasi tinggi. Sehingga orang-orang yang kurang berdedikasi saat bekerja tentu tidak akan mampu menjadi karyawan yang layak dibanggakan. Sebaliknya, mereka yang memiliki dedikasi yang tinggi kepada pekerjaannya sudah pasti akan bersedia mengerahkan seluruh kemampuannya untuk memastikan hasil pekerjaan yang terbaik. Karena mereka yang berdedikasi tinggi menghargai makna pekerjaannya. Sedangkan karyawan yang memberikan hasil terbaik sangat disukai oleh perusahaan.
Attitude, atau sikap. Adakah sesuatu yang bisa menggantikan sikap? Jika kita lulusan sekolah luar negeri. Atau berpengalaman belasan tahun. Atau memiliki posisi yang tinggi. Namun attitude alias sikap kita buruk, apakah kita bisa menjadi karyawan yang baik? Pasti tidak. Mengapa, karena dengan sikap yang buruk kita berperilaku buruk. Padahal tak seorangpun menyukai orang-orang yang sikapnya buruk. Sebaliknya, orang-orang yang memiliki sikap yang baik pasti berperilaku baik. Dan kepada orang baik, banyak sekali yang menyukainya. Jadi tidak mengejutkan jika orang-orang yang memiliki sikap baik akan berperilaku baik. Lalu memberikan pencapaian yang baik. Hingga memperoleh imbalan yang juga baik.
Sense of Belonging, atau rasa memiliki. Banyak karyawan yang merasa bahwa keberadaannya diperusahaan tidak lebih dari sekedar mencari nafkah saja. Sehingga, fokus utamanya adalah; bagaimana supaya memperoleh penghasilan setiap bulan. Jika setiap bulan ada jaminan untuk memperoleh pendapatan, mengapa harus susah-susah memikirkan kepentingan perusahaan? Sedangkan orang yang memiliki sense of belonging berbeda. Meskipun mereka bukan pemegang saham, tapi mereka memiliki kesediaan untuk mendahulukan kepentingan perusahaan daripada tuntutan pribadinya. Sehingga, pada saat perusahaan sedang bagus, mereka tidak menuntut melebihi haknya. Sebaliknya, ketika perusahaan berada pada situasi sulit, mereka tidak serta merta mencampakkannya.
Integrity, atau integritas diri. Ini adalah aspek yang paling dicari. Sebab orang-orang yang mempunyai integritas selalu bisa dipercaya. Padahal, bisnis merupakan serangkaian kegiatan yang didasari oleh kepercayaan. Sedangkan orang-orang yang memiliki integritas diri tidak mungkin mengkhianati kepercayaan yang diberikan. Dengan integritas diri, mereka menghindari kecurangan. Mensucikan diri dari perilaku yang menggerogoti kondisi kesehatan keuangan. Dan menjaga diri dari tindakan apapun yang merugikan perusahaan. Sebab, orang-orang yang memiliki integritas diri sadar bahwa seluruh perbuatannya harus dipertanggungjawabk an. Bukan semata-mata kepada atasan. Melainkan kepada Tuhan.

Mari sekali lagi memperhatikan keempat aspek penting itu. Dedication disingkat D. Attitude disingkat A. Sense of belonging disingkat S. Dan Integrity disingkat I. Hey, bukankah jika kita mengurutkan keempat singkatan itu kita akan memperoleh hasil berikut ini: D-A-S-I. Ya, dasi. Ternyata memang dengan dasi kita bisa meraih keberhasilan dalam karir. Bukan semata-mata dasi yang menggantung di leher kita. Melainkan dengan empat elemen penting yang tertanam didalam diri kita itu.

Mungkin saat ini kita belum berkesempatan menduduki posisi yang mematutkan kita untuk mengenakan dasi. Tetapi, percayalah bahwa dasi tidak hanya pelengkap keindahan penampilan fisik belaka. Kerena, ternyata dasi memiliki makna untuk meningkatkan kualitas diri kita. Melalui dedikasi yang tinggi, sikap postif, rasa memiliki, dan integritas diri. Jika keempat unsur itu ada dalam diri kita; maka tidak lagi penting apakah di leher kita melilit dasi atau tidak. Karena, jiwa kita sudah secara otomatis mengenakannya. Sehingga dengan atau tanpa dasi yang necis, kita bisa membentuk diri sendiri untuk memiliki nilai yang lebih tinggi.


Read more...

Kamis, 18 Maret 2010

Hati-hati Pasang Status di Facebook

Hati-hati bila menulis status di situs jaringan sosial Facebook, apalagi yang bisa menyinggung satu pihak, ataupun membawa muatan SARA.

Setelah kasus status Facebook Evan Brimob sempat mencuat di publik dan menuai kemarahan masyarakat beberapa bulan lalu, kali ini seseorang bernama Ibnu Rachal Farhansyah memicu kemarahan masyarakat Bali, yang mayoritas beragama Hindu.

Pasalnya, di saat mayoritas masyarakat Bali menggelar ritual Nyepi, Selasa 16 Maret 2010, Ibnu malah menulis status yang memicu konflik. Dalam akun Facebook-­nya, Ibnu menulis "nyepi sepi sehari kaya tai." Kontan, status tersebut langsung menuai komentar kemarahan dari sejumlah temannya di akun tersebut.


Dalam salah satu komentar, Ibnu dicap sebagai sosok munafik yang tidak menghargai umat Hindu. Banyak pula yang meminta Ibnu untuk pergi meninggalkan Bali ataupun mengancam melaporkan kasus ini ke pihak berwenang, polisi.

Ibnu akhirnya menuliskan status terbaru yang menyatakan permintaan maaf kepada seluruh masyarakat Bali, khususnya yang beragama Hindu, atas pernyataan kasarnya tersebut.

Namun, nasi sudah menjadi bubur. Ulah Ibnu sudah terlanjur menjadi buah bibir. Bermunculan juga sejumlah grup yang menyatakan penentangan terhadap aksi Ibnu ini. Salah satu grup menggalang dukungan untuk mengusir Ibnu dari Bali.

Ibnu sendiri dikabarkan belum begitu lama tinggal di Pulau Dewata. Tampaknya, ia masih harus banyak belajar beradaptasi dan menghargai perbedaan adat-istiadat, budaya dan agama dimana ia tinggal sekarang. (tvone.co.id)


Read more...

Selasa, 16 Maret 2010

Indonesia Hendaknya Sikap Secara Cerdas Kunjungan Obama

Jakarta (ANTARA) - Mantan Anggota DPR RI dari Partai Amanat Nasional (PAN) Abdillah Thoha mengatakan hendaknya Indonesia bisa menyikapi secara cerdas dan taktis terhadap rencana kunjungan Presiden Amerika Serikat Barrack Hussein Obama pada Senin hingga Rabu (22-24/3).

"Sebagai tamu negara Barrack Obama selayaknya diterima, tapi Indonesia juga harus menunjukkan diri sebagai negara berdaulat," kata Abdillah Thoha pada diskusi "Menolak Obama" yang diselenggarakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Wisma Antara, Jakarta, Selasa.

Dikatakannya, Barrack Obama memiliki sikap agak berbeda dengan Presiden Amerika Serikat sebelumnya yakni George W Bush terhadap negara-negara Islam.

Perubahan yang dilakukan Obama sebagai Presiden Amerika Serikat, kata dia, antara lain bersedia berdialog dengan kepala negara Iran yang tidak dilakukan oleh Presiden Amerika Serikat sebelumnya.

Obama, kata dia, juga akan memproses secara hukum para tahanan di penjara Guantanamao yang dipenjara oleh pemerintah Amerika Serikat sebelumnya tanpa proses hukum.

Menurut dia, hendaknya masyarakat Indonesia menyikapi pemerintah Amerika Serikat secara keseluruhan bagaimana strategi dan taktik yang paling tepat menghadapinya.

"Amerika Serikat sampai saat ini adalah negara adikuasa terutama dari sisi ekonomi dan militer dan pemerintah Indonesia masih ada ketergantungan dengan Amerika Serikat," katanya.

Meskipun demikian, kata dia, pemerintah Indonesia harus bisa bersikap tegas dan menunjukkan sebagai negara berdaulat yang tidak begitu saja mengikuti keinginan Amerika Serikat.

Juru Bicara HTI Ismail Yusanto mengatakan, HTI menolak rencana kedatangan Barrack Obama ke Indonesia dengan pertimbangan telah melanggar hak asasi manusia (HAM) berat di Irak.

Menurut dia, Amerika Serikat telah menjajah dan menghilangkan lebih dari satu juta jiwa ribu penduduk Irak.

"Tindakan Amerika Serikat terhadap Irak dan beberapa negara Islam lainnya adalah tindakan penjajahan yang melanggar kedaulatan negara," katanya.

Diskusi menampilkan pembicara pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy, mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI (Purn) Tysano Sudarto, politisi PAN Abdillah Thoha, dan juru bicara HTI Ismail Yusanto.

Read more...

Selasa, 02 Maret 2010

Sejajar itu indah

“Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.”
-- Peribahasa Indonesia

PESAN sate, yang datang malah pecel lele. Ngidam bakso, disodori bakwan malang. Halah, aya-aya wae. Praktis selera makanpun hilang. Padahal saat sebelum pergi dia mengingat semua pesanan dengan baik. Namun, apa hendak dikata. Budi tidak seperti biasanya seperti itu. Dia termasuk office boy atau pesuruh di kantor yang paling jempolan. Bukan saja karena dia paling senior, tetapi juga cepat menangkap maksud dari mereka yang memberi perintah. Lantas, ada kejadian apa dengannya hari ini?

Melihat muka masam dari para pekerja di kantor, dia pun hanya termenung. Murung sekali. Apakah ada seorang dari kami yang mengeluarkan kata yang barangkali dia pun tak menyadari akan menimbulkan dampak bagi Budi. Entahlah. Kami pun berbincang di dapur. Dari mulutnya kemudian terumbar kebimbangan hatinya. Di rumahnya, anaknya sakit dan belum sempat dibawa ke dokter. Gaji yang diterima sudah habis karena sebagian dikirim ke kampung. “Harus mencari biaya tambahan, Pak,” ujarnya lirih. Jelas sudah. Itu semua yang membuat kinerjanya menurun drastis.

Persoalan seperti ini tentu saja menjadi hal yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang dekat dengan kehidupan kita sehari-hari tiba-tiba berubah tanpa pernah kita tahu sebabnya. Semakin dimarahi, karena tak sesuai dengan harapan, makin buruklah pekerjaannya.

Sejatinya itu tak mesti terjadi bila ada komunikasi yang terbuka diantara keduanya. Antara sopir dengan majikannya. Karyawan dan bosnya. Bahkan antara orangtua dengan anaknya. Komunikasi yang baik dan efektif memang perlu dilakukan, bukan hanya dalam lingkup keluarga, masyarakat, tapi juga dalam lingkungan tempat bekerja. Komunikasi yang baik pula yang dapat menerjang semua kebuntuan. Hanya saja tak semua dari kita dapat melakukan hal itu. Tapi itu tidaklah sulit. Cara yang mudah adalah saat kita mampu mensejajarkan diri dengan orang yang kita hadapi, dengan tanpa melihat status seseorang.

Menurut Cheryl Reimold, seorang ahli mengenai bahasa tubuh mengatakan, “Bila Anda berdiri ketika berbicara dengan orang yang sedang duduk, maka Anda menang tinggi, dan bahkan merasa lebih berkuasa sesaat. Namun, bila Anda menghadapi orang itu dalam kesejajaran, duduk atau berdiri, maka Anda akan lebih berkemungkinan menjalin komunikasi yang baik.“

Ini ada cerita menarik tentang kesejajaran. Suatu ketika, Pangeran Albert bertengkar dengan isterinya, Ratu Vicoria. Albert mengalah, kemudian menuju kamarnya. Ratu Victoria kemudian menyusulnya dan mendapati pintu terkunci. Ia kemudian mengetuk pintu dengan keras.
Dari dalam kamar, Albert bertanya, “Siapa itu?”
”Ratu Inggris!” jawab Ratu Vicoria. Pintu tetap terkunci.
Victoria kemudian mengetuk pintu lagi.
Albert pun kembali bertanya, ”Siapa itu?”
”Ini aku, isterimu.” jawab Ratu Inggris.
Pintupun kemudian terbuka.

Kesetaraan akan terwujud, saat kita menganggap lawan bicara kita tidak lebih tinggi atau lebih rendah dari kita. Hal ini dilakukan agar komunikasi berjalan dengan efektif. Tak sulit. Tak pula butuh biaya. Dengan kelegaan hati kami memaklumi kesalahan office boy siang itu. Terus terang, tak banyak uang yang keluar untuk membantu beban Budi saat itu. Budi terlihat lebih rileks. Senyumpun mengembang. Saya tahu bukan uang yang masuk ke kantong celananya, namun sikap merasa diperhatikan yang membuatnya merasa dianggap setara. Diwongke, istilahnya. Selanjutnya, langkah Budi pun terlihat lebih ringan.

Begitulah, komunikasi tak hanya efektif, tapi juga terlihat indah, bila kita mampu mensejajarkan diri kita dengan orang lain. Ya, sejajar itu indah.

*) Sonny Wibisono, penulis buku 'Message of Monday', PT Elex Media
Komputindo, 2009

Read more...

 

© 2009 Aku Cinta Indonesia. Powered by Blogger
Design by eJoee BlogsTricks